Sebagai daerah yang baru “merdeka” dari Indonesia, Aceh telah banyak melakukan terobosan-terobosan ekonomi yang langsung dilaksanakan oleh rakyat. Hal ini dilakukan sebagai upaya memutus mata rantai “agen” di dinas-dinas yang sudah terkenal mampu menelan apapun.
Salah satu mekanisme yang dilakukan adalah dengan cara memberikan hibah gila-gilaan kepada berbagai kelompok masyarakat yang mengajukan proposal pengembangan ekonomi mikro dengan harapan akan lahir juragan-juragan baru di tingkat akar rumput.
Salah satu terobosan berani tersebut adalah penggelontoran dana rakyat pada tahun 2013 sebesar 4 miliar lebih kepada 50 orang pemuda di Aceh yang tersebar di berbagai kabupaten–mayoritas di Bireuen–. tiap-tiap kepala calon juragan itu diberikan 2000 ekor ayam petelur. Ada 100.000 ekor ayam petelur di Aceh yang menjadi modal awal.
Oleh beberapa orang yang dulunya mengetahui adanya hibah tersebut menduga pengusaha-pengusaha muda itu bergerak dalam diam. Walau begitu banyak menerima ayam, tidak satupun di antara mereka yang mempublikasi “nikmat” Allah tersebut.
“Bahkan di status Facebook pun tidak nampak aktivitas mereka memberi pakan ayam, atau minimal berpose di tengah masyarakat ayam,” ujar sang sumber.
Sempat terbersit dugaan dalam hati sebagian kaum muslimin di Aceh bahwa ke 50 orang itu adalah calon-calon orang kaya yang rendah hati, tawadhuk, tidak mau pamer-pamer kenikmatan yang dititipkan kepada mereka.
Mereka yang menerima itu, sejatinya disiapkan oleh Pemerintah Aceh sebagai golongan pengikat fondasi, yang kelak akan dipercayakan sebagai interpreneur di bidang industri perteluran nusantara. Minimal mampu menguasai Sumatera. Sehingga adigium bahwa Senin-Jumat telur Medan masuk ke Aceh, Sabtu dan minggu telur Aceh masuk ke Medan, bisa dibalik menjadi, tiap hari telur Aceh masuk Medan. Maknanya, Aceh mampu ekspansi bisnis telurnya ke sana.
Di bahu mereka pula, akan disandingkan harapan puluhan pemuda lainnya yang kelak akan menjadi tenaga kerja di usaha peternakan ayam petelur. Mulai dari penjaga kandang, pengumpul telur, hingga divisi ekspedisi yang merambah ke berbagai pelosok negeri.
Di sisi lain, rakyat Aceh akan menikmati telur hasil produksi nanggroe indatu dengan harga lebih murah. Hasilnya efek domino dalam industri ini akan memutus mata rantai kemiskinan dan pengangguran yang akhir-akhir ini semakin mengkhawtirkan.
Namun akhirnya sebuah media cetak mingguan di Aceh memuat cerita tentang telur itu. Hibah yang menelan anggaran rakyat yang tidak sedikit itu, tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Aroma busuk mulai tercium, bahwa pengadaan ayam itu fiktif. Bilapun ada hanya sedikit saja, selebihnya sim salabim avra cadavra. Setelah cair diseupot le murua (disambar biawak-pen).
Kepada penulis, seorang teman yang namanya ikut ditulis sebagai penerima hibah–mayoritas saya mengenali nama-nama itu– mengaku pernah ikut menandatangani berita acara serah terima ayam itu. Namun setelah tanda tangan, ayam pun menjadi milik orang lain, yang disebut-sebut sebagai awak rayeuk (orang besar-pen).
Seminggu setelah serah terima, tambah si teman, semua ayam itu mati kena tauet buta. walhasil, Aceh gagal menjadi lumbung telur Nasional. Uang pun hangus sia-sia.
Seorang teman lainnya pernah berkata, Aceh sebenarnya tiap tahun memberikan hibah kepada berbagai kelompok binatang –maksudnya kelompok ternak binatang peliharaan– namun tetap saja tidak berhasil. Mulai kelompok sapi, kelompok kambing, kelompok ayam, kelompok itik, dan berbagai kelompok lainnya. Bila dihitung-hitung –andaikan kelompok binatang itu– benar-benar bekerja sesuai isi proposal, sungguh Aceh sudah surplus hewan ternak. []
sumber: Acehtrend.co