Fatwa Berpuasa di Negara “Tanpa Matahari Terbenam”





Majelis Eropa untuk Fatwa dan Riset, ECFR, merilis fatwa untuk mempermudah pelaksanaan ibadah puasa bagi umat Muslim yang berada di negara-negara Eropa yang memiliki waktu siang sangat lama atau bahkan tak pernah melihat matahari terbenam.

Dalam pernyataan yang diterima CNN Indonesia pada Jumat (4/6), ECFR merilis ‘fatwa baru untuk umat Islam Eropa’ untuk mempermudah umat Muslim menentukan waktu sahur dan berbuka puasa, di negara-negara di mana siang hari berlangsung sangat lama, bahkan hingga 19 jam.

Di antara fatwa yang baru dirilis disebutkan bahwa umat Islam yang berada di negara di mana matahari tidak pernah tenggelam disarankan agar mengambil waktu di hari-hari yang siang dan malamnya sama panjang, sebagai ukuran menentukan waktu puasa dan salat di bulan Ramadan.

"Dengan kata lain, waktu-waktu ibadah puasa Ramadan disesuaikan dengan bulan-bulan di mana durasi siang dan malam sama," bunyi pernyataan tersebut.

Di negara-negara yang malamnya sangat pendek, di mana bahkan tanda-tanda fajar tidak jelas, sangat sedikit sekali waktu untuk menunaikan salat Isya, tarawih, sahur. Terkait hal ini, ECFR memberi dua fatwa.

Pertama, melihat hari terakhir di mana tanda terbit dan tenggelamnya matahari, serta waktu Isya cukup jelas, untuk dijadikan pedoman waktu-waktu ibadah Ramadan. Waktu yang demikian biasanya terjadi pada akhir April atau awal Mei.

Kedua, untuk umat Islam di negara-negara di mana malamnya sangat pendek, diperbolehkan bagi mereka untuk mengakhirkan sahur dan salat Subuh 1 jam 5 menit sebelum terbitnya matahari.

Karena itu, di negara-negara Eropa yang siangnya sangat panjang, ECFR memberi fatwa tidak boleh menjamak salat Dhuhur dengan Ashar karena tandanya sudah jelas. "Sedangkan salat Magrib, Isya, dan tarawih boleh dijamak dalam satu waktu lantaran tanda waktunya tidak jelas," bunyi pernyataan tersebut.

Sedangkan, bagi negara-negara yang tanda waktu Isya jelas namun sangat dekat dengan Subuh, maka dimungkinkan untuk salat Maghrib dan kemudian langsung shalat tarawih sebelum Isya dengan tenggat waktu 45 menit.

"Setelah tarawih lalu salat Isya. Salat tarawih dimungkinkan lebih dahulu dari Isya, lantaran tarawih dibolehkan dilaksanakan kapan saja di waktu malam," bunyi pernyataan tersebut.

Fatwa ini dirilis oleh ECFR setelah mengadakan konferensi internasional di Dublin, ibu kota Irlandia pada Juli 2015 lalu.
Konferensi ini melibatkan para ulama, ahli fikih, psikolog, dokter, dan ahli falak.

Sebelum pertemuan, delegasi ECFR mengunjungi wilayah utara Swedia dan Norwegia, di mana matahari tidak pernah terbenam. Syeikh Halawa, Sekjen ECFR menyebut fatwa yang dikeluarkan ECFR kali ini adalah ‘fatwa baru untuk umat Islam Eropa’.

ECFR merupakan sebuah lembaga yang berbasis di Dublin yang dibentuk di London pada 1997 oleh Federasi Organisasi-organisasi Islam di Eropa, FIOE.

Salah seorang penggagas ECFR adalah Sheikh Yusuf Qardhawi, ketua Persatuan Ulama Dunia. Anggota ECFR terdiri dari para ulama dan para cendekiawan Muslim.

Tahun lalu, anjuran berbeda soal pelaksanaan puasa dirilis oleh Sheikh Usama Hasan dari Quillian Foundation, yang menganjurkan agar umat Muslim di Inggris mengikuti lama berpuasa di "negara moderat terdekat."

Dalam hal ini, ia mencontohkan lama puasa di Mekah, Arab Saudi yang berlangsung selama 12 hingga 13 jam sehari, seperti dilaporkan The International Business Times.

Pandangan berbeda dikemukakan Sheikh Hassan Halawa yang menilai lama berpuasa tidak boleh dipotong pendek sesuai negara moderat terdekat. Menurutnya, tak pantas warga Muslim Inggris memotong waktu berpuasa sementara banyak Muslim di belahan negara lain tetap berpuasa maupun didera gelombang panas.

Related Posts:

0 Response to "Fatwa Berpuasa di Negara “Tanpa Matahari Terbenam”"

Posting Komentar